Jumat, 20 September 2013

Kisah Habib Munzir Al Musawa bertemu Habib Umar bin Hafidz untuk pertama kali

Assalamu’alaikum wr. wb,
Ya Akhi, Agan – agan N’Semuanye aje yang di rahmati Allah serta senantiasa dalam naungan Istiqomahnya … kali ni Blog MUHIBIN masih mengulas tentang Habib Munzir punye cerite … di sini antum bakal baca cerite perjuangan Habib Munzir Bertemu dengan Sang Guru Besar Yaitu Habib Umar …. yudah yok, Agan – agan N’ Antum gag sabar kan pengen baca ni Habib Munzir Punye Cerite …. Sok Atuh Mangga di baca ….
Seraya Habib Munzir Berkata :
Kebahagiaan dan Kesejukan Rahmat Nya semoga selalu menaungi hari hari anda,
Saudaraku yg kumuliakan,
saya adalah seorang anak yg sangat dimanja oleh ayah saya, ayah saya selalu memanjakan saya lebih dari anaknya yg lain, namun dimasa baligh, justru saya yg putus sekolah, semua kakak saya wisuda, ayah bunda saya bangga pada mereka, dan kecewa pada saya, karena saya malas sekolah, saya lebih senang hadir majelis maulid Almarhum Al Arif billah Alhabib Umar bin Hud Alalttas, dan Majelis taklim kamis sore di empang bogor, masa itu yg mengajar adalah Al Marhum Al Allamah Alhabib Husein bin Abdullah bin Muhsin Alattas dg kajian Fathul Baari.
sisa hari hari saya adalah bershalawat 1000 siang 1000 malam, zikir beribu kali, dan puasa nabi daud as, dan shalat malam berjam jam, saya pengangguran, dan sangat membuat ayah bunda malu.
ayah saya 10 tahun belajar dan tinggal di Makkah, guru beliau adalah Almarhum Al Allamah Alhabib Alwi Al Malikiy, ayah dari Al Marhum Al Allamah Assayyid Muhammad bin Alwi Al Malikiy, ayah saya juga sekolah di Amerika serikat, dan mengambil gelar sarjana di New york university.
almarhum ayah sangat malu, beliau mumpuni dalam agama dan mumpuni dalam kesuksesan dunia, beliau berkata pada saya : kau ini mau jadi apa?, jika mau agama maka belajarlah dan tuntutlah ilmu sampai keluar negeri, jika ingin mendalami ilmu dunia maka tuntutlah sampai keluar negeri, namun saranku tuntutlah ilmu agama, aku sudah mendalami keduanya, dan aku tak menemukan keberuntungan apa apa dari kebanggaan orang yg sangat menyanjung negeri barat, walau aku sudah lulusan New York University, tetap aku tidak bisa sukses di dunia kecuali dg kelicikan, saling sikut dalam kerakusan jabatan, dan aku menghindari itu.
maka ayahanda almarhum hidup dalam kesederhanaan di cipanas, cianjur, Puncak. Jawa barat, beliau lebih senang menyendiri dari ibukota, membesarkan anak anaknya, mengajari anak2nya mengaji, ratib, dan shalat berjamaah.
namun saya sangat mengecewakan ayah bunda karena boleh dikatakan : dunia tidak akhiratpun tidak.
namun saya sangat mencintai Rasul saw, menangis merindukan Rasul saw, dan sering dikunjungi Rasul saw dalam mimpi, Rasul saw selalu menghibur saya jika saya sedih, suatu waktu saya mimpi bersimpuh dan memeluk lutut beliau saw, dan berkata wahai Rasulullah saw aku rindu padamu, jangan tinggalkan aku lagi, butakan mataku ini asal bisa jumpa dg mu.., ataukan matikan aku sekarang, aku tersiksa di dunia ini,,, Rasul saw menepuk bahu saya dan berkata : munzir, tenanglah, sebelum usiamu mencapai 40 tahun kau sudah jumpa dg ku.., maka saya terbangun..
akhirnya karena ayah pensiun, maka ibunda membangun losmen kecil didepan rumah berupa 5 kamar saja, disewakan pada orang yg baik baik, untuk biaya nafkah, dan saya adalah pelayan losmen ibunda saya.
setiap malam saya jarang tidur, duduk termenung dikursi penerimaan tamu yg cuma meja kecil dan kursi kecil mirip pos satpam, sambil menanti tamu, sambil tafakkur, merenung, melamun, berdzikir, menangis dan shalat malam demikian malam malam saya lewati,
siang hari saya puasa nabi daud as, dan terus dilanda sakit asma yg parah, maka itu semakin membuat ayah bunda kecewa, berkata ibunda saya : kalau kata orang, jika banyak anak, mesti ada satu yg gagal, ibu tak mau percaya pada ucapan itu, tapi apakah ucapan itu kebenaran?.
saya terus menjadi pelayan di losmen itu, menerima tamu, memasang seprei, menyapu kamar, membersihkan toilet, membawakan makanan dan minuman pesanan tamu, berupa teh, kopi, air putih, atau nasi goreng buatan ibunda jika dipesan tamu.
sampai semua kakak saya lulus sarjana, saya kemudian tergugah untuk mondok, maka saya pesantren di Hb Umar bin Abdurrahman Assegaf di Bukit duri jakarta selatan, namun hanya dua bulan saja, saya tidak betah dan sakit sakitan karena asma terus kambuh, maka saya pulang.
ayah makin malu, bunda makin sedih, lalu saya prifat saja kursus bahasa arab di kursus bahasa arab assalafi, pimpinan Almarhum Hb Bagir Alattas, ayahanda dari hb Hud alattas yg kini sering hadir di majelis kita di almunawar.
saya harus pulang pergi jakarta cipanas yg saat itu ditempuh dalam 2-3 jam, dg ongkos sendiri, demikian setiap dua kali seminggu, ongkos itu ya dari losmen tsb.
saya selalu hadir maulid di almarhum Al Arif Billah Alhabib Umar bin Hud alattas yg saat itu di cipayung, jika tak ada ongkos maka saya numpang truk dan sering hujan hujanan pula.
sering saya datang ke maulid beliau malam jumat dalam keadaan basah kuyup, dan saya diusir oleh pembantu dirumah beliau, karena karpet tebal dan mahal itu sangat bersih, tak pantas saya yg kotor dan basah menginjaknya, saya terpaksa berdiri saja berteduh dibawah pohon sampai hujan berhenti dan tamu tamu berdatangan, maka saya duduk dil;uar teras saja karena baju basah dan takut dihardik sang penjaga.
saya sering pula ziarah ke luar batang, makam Al Habib husein bin Abubakar Alaydrus, suatu kali saya datang lupa membawa peci, karena datang langsung dari cipanas, maka saya berkata dalam hati, wahai Allah, aku datang sebagai tamu seorang wali Mu, tak beradab jika aku masuk ziarah tanpa peci, tapi uangku pas pasan, dan aku lapar, kalau aku beli peci maka aku tak makan dan ongkos pulangku kurang..,
maka saya memutuskan beli peci berwarna hijau, karena itu yg termurah saat itu di emperan penjual peci, saya membelinya dan masuk berziarah, sambil membaca yaasin utk dihadiahkan pada almarhum, saya menangisi kehidupan saya yg penuh ketidak tentuan, mengecewakan orang tua, dan selalu lari dari sanak kerabat, karena selalu dicemooh, mereka berkata : kakak2mu semua sukses, ayahmu lulusan makkah dan pula new york university, koq anaknya centeng losmen..
maka saya mulai menghindari kerabat, saat lebaranpun saya jarang berani datang, karena akan terus diteror dan dicemooh.
walhasil dalam tangis itu saya juga berkata dalam hati, wahai wali Allah, aku tamumu, aku membeli peci untuk beradab padamu, hamba yg shalih disisi Allah, pastilah kau dermawan dan memuliakan tamu, aku lapar dan tak cukup ongkos pulang..,
lalu dalam saya merenung, datanglah rombongan teman teman saya yg pesantren di Hb Umar bin Abdurrahman Assegaf dg satu mobil, mereka senang jumpa saya, sayapun ditraktir makan, saya langsung teringat ini berkah saya beradab di makam wali Allah..
lalu saya ditanya dg siapa dan mau kemana, saya katakan saya sendiri dan mau pulang ke kerabat ibu saya saja di pasar sawo, kb Nanas Jaksel, mereka berkata : ayo bareng saja, kita antar sampai kebon nanas, maka sayapun semakin bersyukur pada Allah, karena memang ongkos saya tak akan cukup jika pulang ke cipanas, saya sampai larut malam di kediaman bibi dari Ibu saya, di ps sawo kebon nanas, lalu esoknya saya diberi uang cukup untuk pulang, sayapun pulang ke cipanas..
tak lama saya berdoa, wahai Allah, pertemukan saya dg guru dari orang yg paling dicintai Rasul saw, maka tak lama saya masuk pesantren Al Habib Hamid Nagib bin Syeikh Abubakar di Bekasi timur, dan setiap saat mahal qiyam maulid saya menangis dan berdoa pada Allah untuk rindu pada Rasul saw, dan dipertemukan dg guru yg paling dicintai Rasul saw, dalam beberapa bulan saja datanglah Guru Mulia Al Musnid Al Allamah Al Habib Umar bin Hafidh ke pondok itu, kunjungan pertama beliau yaitu pd 1994.
selepas beliau menyampaikan ceramah, beliau melirik saya dg tajam.., saya hanya menangis memandangi wajah sejuk itu.., lalu saat beliau sudah naik ke mobil bersama almarhum Alhabib Umar maula khela, maka Guru Mulia memanggil Hb Nagib Bin Syeikh Abubakar, Guru mulia berkata bahwa beliau ingin saya dikirim ke Tarim Hadramaut yaman untuk belajar dan menjadi murid beliau,
Guru saya hb Nagib bin syeikh abubakar mengatakan saya sangat belum siap, belum bisa bahasa arab, murid baru dan belum tahu apa apa, mungkin beliau salah pilih..?, maka guru mulia menunjuk saya, itu.. anak muda yg pakai peci hijau itu..!, itu yg saya inginkan.., maka Guru saya hb Nagib memanggil saya utk jumpa beliau, lalu guru mulia bertanya dari dalam mobil yg pintunya masih terbuka : siapa namamu?, dalam bahasa arab tentunya, saya tak bisa menjawab karena tak faham, maka guru saya hb Nagib menjawab : kau ditanya siapa namamu..!, maka saya jawab nama saya, lalu guru mulia tersenyum..
keesokan harinya saya jumpa lagi dg guru mulia di kediaman Almarhum Hb bagir Alattas, saat itu banyak para habaib dan ulama mengajukan anaknya dan muridnya untuk bisa menjadi murid guru mulia, maka guru mulia mengangguk angguk sambil kebingungan menghadapi serbuan mereka, lalu guru mulia melihat saya dikejauhan, lalu beliau berkata pada almarhum hb umar maula khela : itu.. anak itu.. jangan lupa dicatat.., ia yg pakai peci hijau itu..!,
guru mulia kembali ke Yaman, sayapun langsung ditegur guru saya hb Nagib bin syekh abubakar, seraya berkata : wahai munzir, kau harus siap siap dan bersungguh sungguh, kau sudah diminta berangkat, dan kau tak akan berangkat sebelum siap..
dua bulan kemudian datanglah Almarhum Alhabib Umar maula khela ke pesantren, dan menanyakan saya, alm hb umar maulakhela berkata pada hb nagib : mana itu munzir anaknya hb Fuad almusawa?, dia harus berangkat minggu ini, saya ditugasi untuk memberangkatkannya, maka hb nagib berkata saya belum siap, namun alm hb umar maulakhela dg tegas menjawab : saya tidak mau tahu, namanya sudah tercantum untuk harus berangkat, ini pernintaan AL Habib Umar bin Hafidh, ia harus berangkat dlm dua minggu ini bersama rombongan pertama..
saya persiapkan pasport dll, namun ayah saya keberatan, ia berkata : kau sakit sakitan, kalau kau ke Mekkah ayah tenang, karena banyak teman disana, namun ke hadramaut itu ayah tak ada kenalan, disana negeri tandus, bagaimana kalau kau sakit?, siapa yg menjaminmu..?,
saya pun datang mengadu pd Almarhum Al Arif billah Alhabib Umar bin hud Alattas, beliau sudah sangat sepuh, dan beliau berkata : katakan pada ayahmu, saya yg menjaminmu, berangkatlah..
saya katakan pada ayah saya, maka ayah saya diam, namun hatinya tetap berat untuk mengizinkan saya berangkat, saat saya mesti berangkat ke bandara, ayah saya tak mau melihat wajah saya, beliau buang muka dan hanya memberikan tangannya tanpa mau melihat wajah saya, saya kecewa namun saya dg berat tetap melangkah ke mobil travel yg akan saya naiki, namun saat saya akan naik, terasa ingin berpaling ke belakang, saya lihat nun jauh disana ayah saya berdiri dipagar rumah dg tangis melihat keberangkatan saya…, beliau melambaikan tangan tanda ridho, rupanya bukan beliau tidak ridho, tapi karena saya sangat disayanginya dan dimanjakannya, beliau berat berpisah dg saya, saya berangkat dg airmata sedih..
saya sampai di tarim hadramaut yaman dikediaman guru mulia, beliau mengabsen nama kami, ketika sampai ke nama saya dan beliau memandang saya dan tersenyum indah,
tak lama kemudian terjadi perang yaman utara dan yaman selatan, kami di yaman selatan, pasokan makanan berkurang, makanan sulit, listrik mati, kamipun harus berjalan kaki kemana mana menempuh jalan 3-4km untuk taklim karena biasanya dg mobil mobil milik guru mulia namun dimasa perang pasokan bensin sangat minim
suatu hari saya dilirik oleh guru mulia dan berkata : Namamu Munzir.. (munzir = pemberi peringatan), saya mengangguk, lalu beliau berkata lagi : kau akan memberi peringatan pada jamaahmu kelak…!.
maka saya tercenung.., dan terngiang ngiang ucapan beliau : kau akan memberi peringatan pada jamaahmu kelak…?, saya akan punya jamaah?, saya miskin begini bahkan untuk mencuci bajupun tak punya uang untuk beli sabun cuci..
saya mau mencucikan baju teman saya dg upah agar saya kebagian sabun cucinya, malah saya dihardik : cucianmu tidak bersih…!, orang lain saja yg mencuci baju ini..
maka saya terpaksa mencuci dari air bekas mengalirnya bekas mereka mencuci, air sabun cuci yg mengalir itulah yg saya pakai mencuci baju saya
hari demi hari guru mulia makin sibuk, maka saya mulai berkhidmat pada beliau, dan lebih memilih membantu segala permasalahan santri, makanan mereka, minuman, tempat menginap dan segala masalah rumah tangga santri, saya tinggalkan pelajaran demi bakti pada guru mulia membantu beliau, dengan itu saya lebih sering jumpa beliau.
2 tahun di yaman ayah saya sakit, dan telepon, beliau berkata : kapan kau pulang wahai anakku..?, aku rindu..?
saya jawab : dua tahun lagi insya Allah ayah..
ayah menjawab dg sedih ditelepon.. duh.. masih lama sekali.., telepon ditutup, 3 hari kemudian ayah saya wafat..
saya menangis sedih, sungguh kalau saya tahu bahwa saat saya pamitan itu adalah terakhir kali jumpa dg beliau.. dan beliau buang muka saat saya mencium tangan beliau, namun beliau rupanya masih mengikuti saya, keluar dari kamar, keluar dari rumah, dan berdiri di pintu pagar halaman rumah sambil melambaikan tangan sambil mengalirkan airmata.., duhai,, kalau saya tahu itulah terakhir kali saya melihat beliau,., rahimahullah..
tak lama saya kembali ke indonesia, tepatnya pada 1998, mulai dakwah sendiri di cipanas, namun kurang berkembang, maka say mulai dakwah di jakarta, saya tinggal dan menginap berpindah pindah dari rumah kerumah murid sekaligus teman saya, majelis malam selasa saat itu masih berpindah pindah dari rumah kerumah, mereka murid2 yg lebih tua dari saya, dan mereka kebanyakan dari kalangan awam, maka walau saya sudah duduk untuk mengajar, mereka belum datang, saya menanti, setibanya mereka yg cuma belasan saja, mereka berkata : nyantai dulu ya bib, ngerokok dulu ya, ngopi dulu ya, saya terpaksa menanti sampai mereka puas, baru mulai maulid dhiya’ullami.., jamaah makin banyak, mulai tak cukup dirumah rumah, maka pindah pindah dari musholla ke musholla,. jamaah makin banyak, maka tak cukup pula musholla, mulai berpindah pindah dari masjid ke masjid,
lalu saya membuka majelis dihari lainnya, dan malam selasa mulai ditetapkan di masjid almunawar, saat itu baru seperempat masjid saja, saya berkata : jamaah akan semakin banyak, nanti akan setengah masjid ini, lalu akan memenuhi masjid ini, lalu akan sampai keluar masjid insya Allah.. jamaah mengaminkan..
mulailah dibutuhkan kop surat, untuk undangan dlsb, maka majelis belum diberi nama, dan saya merasa majelis dan dakwah tak butuh nama, mereka sarankan majelis hb munzir saja, saya menolak, ya sudah, majelis rasulullah saw saja,
kini jamaah Majelis Rasulullah sudah jutaan, di Jabodetabek, jawa barat, banten, jawa tengah, jawa timur, bali, mataram, kalimantan, sulawesi, papua, singapura, malaysia, bahkan sampai ke Jepang, dan salah satunya kemarin hadir di majelis haul badr kita di monas, yaitu Profesor dari Jepang yg menjadi dosen disana, dia datang keindonesia dan mempelajari bidang sosial, namun kedatangannya juga karena sangat ingin jumpa dg saya, karena ia pengunjung setia web ini, khususnya yg versi english..
sungguh agung anugerah Allah swt pada orang yg mencintai Rasulullah saw, yg merindukan Rasulullah saw…
itulah awal mula hamba pendosa ini sampai majelis ini demikian besar, usia saya kini 38 tahun jika dg perhitungan hijriah, dan 37 th jika dg perhitungan masehi, saya lahir pd Jumat pagi 19 Muharram 1393 H, atau 23 februari 1973 M.
perjanjian Jumpa dg Rasul saw adalah sblm usia saya tepat 40 tahun, kini sudah 1431 H,
mungkin sblm sempurna 19 Muharram 1433 H saya sudah jumpa dg Rasul saw, namun apakah Allah swt akan menambah usia pendosa ini..?
Wallahu a’lam
salam rindu terdalam untuk anda.





Biografi Habib umar bin hafidz , habib Munzir Al Musawa, Dan Habib Hasan bin Ja’far Assegaf.

Habib Umar bin Hafidz

Hadramaut, sebuah provinsi di Negara Yaman, yang sudah tidak asing lagi bagi masyarakat di Indonesia, hal ini disebabkan telah terjalinnya hubungan yang begitu indah antara keduanya semenjak ratusan tahun yang silam, dimana tercatat dalam sejarah bahwa dari negeri inilah cikal bakal Islam yang berkembang di Indonesia.
Hadramaut sejak belasan abad yang silam telah tercatat sebagi negara yang menumbuhkan beberapa tokoh terkenal baik dari kalangan ulama maupun orang-orang shaleh. Di abad ke 8 hijri seorang ulama terkenal pernah melantunkan dua bait syair mengenai penghuni daerah Hadramaut:
Aku melewati lembah Hadramaut seraya menyampaikan salam, dan aku disambut dengan senyuman dan muka beseri-seri. Kutemukan di situ para pembesar dan tokoh yang tidak akan ditemukan di barat maupun di timur.
Begitulah pandangan umum tentang masyarakat dan penduduk Hadramaut dari masa ke masa. Nuansa religius akan dirasakan oleh setiap orang yang memasuki daerah tersebut, sedangkan pusat ilmiah dan dakwah terletak di kota Tarim yang merupakan kota terpenting di daerah tersebut.
Di tempat dan nuansa seperti inilah al Habib Umar  Muhammad bin Salim bin Hafidz dilahirkan, tepatnya pada hari Senin tanggal 4 Muharram 1383 H, yang bertepatan dengan tanggal 27 Mei 1963.
Beliau tumbuh diantara keluarga shaleh dan berilmu, ayah beliau adalah seorang ulama terpandang yang mencapai derajat mufti dalam mazhab Syafi’I, kakek beliau juga adalah seorang ulama yang produktif, sedangkan saudara tertua beliau yaitu Al Habib Ali Masyhur adalah seorang ahli fiqih yang sampai saat ini menjadi pemuka para mufti kota Tarim.
Cinta terhadap ilmu dan kaum sholihin telah tertanam dalam jiwa al Habib Umar sejak beliau telah menghafal al Quran dan mempelajari ilmu-ilmu dasar agama. Ketika beliau berumumr 9 tahun ayah beliau yaitu al Habib Muhammad bin Salim diculik oleh orang-orang komunis yang saat itu sedang berkuasa di kawasan Yaman Selatan, ayah beliau diculik lantaran tegas dalam menyampaikan dakwah dan kebenaran, hingga sampai saat ini beliau tidak diketahui keberadaannya.
Ketika beliau masih kecil, keadaan Hadramaut tidak kondusif, tekanan dan intimidasi dilakukan kepada para ulama dan pengajar, namun hal itu tidak menyurutkan semangat Habib Umar, dengan sembunyi-sembunyi beliau belajar pada ulama di masa itu, selain belajar pada ayahandanya, al Habib Muhammad bin Salim bin Hafidz, beliau juga belajar pada al Habib Muhammad bin Alwi bin Shahab, al Munshib al Habib Ahmad bin Ali bin Syekh Abu Bakar, al Habib Muhammad bin Abdullah al Haddar (di kota Baidho – Yaman), al Habib Ibrahim bin Agil bin Yahya (di Kota Taiz – Yaman), juga kepada al Habib al Imam Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf. Disamping itu dalam kesempatan inilah beliau ke Haramain untuk berhaji. Beliau juga menyempatkan untuk mengikat hubungan dengan banyak ulama disana.
Dari tangan merekalah al Habib Umar menguasai berbagai disiplin ilmu, mulai dari ilmu fikih, tauhid, usul fikih, sejarah, tata bahasa hingga ilmu Tazkiah (tasawuf). Dan sejak umur 15 tahun beliau telah terbiasa untuk menyampaikan ilmu yang didapatkan dari guru-gurunya itu dalam rangka dakwah ilallah.
Karya dan Rehlah al Habib Umar bin Hafidz
Ditengah kesibukannya sebagai pendidik dan juru dakwah al Habib Umar masih sempat menulis beberapa buku, diantaranya:
  1. Is’af tholibi ridho alkhallak bimakarimi alkhallak
  2. Taujihat tullab
  3. Syarah mandhumah sanad alawiy
  4. Khuluquna
  5. Dakhirah musyarafah
  6. Khulasoh madad an-nabawiy
  7. Diyaul lami bidhikri maulidi nabi as-syafi
  8. Syarobu althohurfi dhikri siratu badril budur
  9. Taujihat nabawiyah
  10. Nur aliman
  11. Almukhtar syifa alsaqim
  12. Al washatiah
  13. Mamlakatul qa’ab wa al ‘adha’
Dari diwan yang berisi syair-syair beliau yang terdiri dari empat juz, disamping rekaman ceramah yang mencapai ribuan cd, vcd dan kaset. Waktu beliau seakan hanya untuk dakwah, tiada menit dan detik kecuali beliau sibuk dengan urusan dakwah, beliau kerap kali melakukan perjalan ke berbagai penjuru dunia, mulai dari Haramain, Syam, Mesir, Afrika, Asia Tenggara, hingga ke daratan Eropa. Kita ketahui sendiri al Habib Umar setiap tahunnya pada bulan Muharram mengunjungi Indonesia.
Dakwah beliau juga sangat dirasakan kesejukannya dan disambut dengan hangat oleh umat Islam di Indonesia. Masyakarat menyambut beliau dengan sangat antusias dan hangat, mengingat bahwa kakek beliau yang kedua, al Habib Hafidz bin Abdullah bin Syekh Abubakar bin Salim, berasal dari Bondowoso, Jawa Timur, Indonesia. Dakwah beliau yang sangat indah dan sejuk itu yang bersumber dan kakek beliau Nabi Muhammad saw, sangatlah diterima oleh berbagai kalangan, baik pemerintah maupun rakyat, kaya ataupun miskin, tua muda.
Di Indonesia al Habib Umar sudah beberapa kali membuat kerjasama dengan pihak bahkan pemerintah Indonesia, dalam hal ini Ditjen Kelembagaan Keagamaan Departemen Agama RI meminta pembuatan kerjasama dengan al Habib Umar dan Darul Musthafa untuk pengiriman SDM yang berkualitas, khususnya para kyai pimpinan pondok pesantren untuk mengikuti program pesantren kilat selama tiga bulan dibawah bimbingan langsung al Habib Umar. Sampai saat ini, banyak sudah santri-santri di Indonesia yang menuntut ilmu di pondok pesantren yang beliau pimpin, Darul Musthafa di Hadramaut, dan telah melahirkan banyak da’i-da’I yang meneruskan perjuangan dakwahnya di berbagai daerah di Indonesia.

Habib Munzir Al musawa
Habib Mundzir Al-Musawa Saat Jumpa Habib Umar bin Hafidz
Al-Habib Munzir bin Fuad Al-Musawa atau lebih dikenal dengan Munzir bin Fuad bin Abdurrahman Almusawa (lahir di Cipanas, Cianjur, Jawa Barat, 23 Februari 1973; umur 39 tahun – 19 Muharram 1393 H) adalah pimpinan Majelis Rasulullah. Ia merupakan anak keempat dari empat bersaudara dari pasangan Fuad bin Abdurrahman Al-Musawa dan Rahmah binti Hasyim Al-Musawa. Ayahnya bernama Fuad yang lahir di Palembang dan dibesarkan di Mekkah. Setelah lulus pendidikan jurnalistik di New York University, Amerika Serikat, ayahnya kemudian bekerja sebagai seorang wartawan di harian ‘Berita Yudha’ yang lalu menjadi Berita buana. Masa kecilnya dihabiskan di daerah Cipanas, Jawa barat bersama-sama saudara-saudaranya, Ramzi, Nabiel Al-Musawa, serta Lulu Musawa. Ayahnya meninggal dunia tahun 1996 dan dimakamkan di Cipanas, Jawa Barat.[1]
Setelah ia menyelesaikan sekolah menengah atas, ia mulai mendalami Ilmu Syariah Islam di Ma’had Assaqafah Al Habib Abdurrahman Assegaf di Bukit Duri Jakarta Selatan, lalu mengambil kursus bahasa arab di LPBA Assalafy Jakarta timur. Ia memperdalam lagi Ilmu Syari’ah Islamiyah di Ma’had Al Khairat, Bekasi Timur, yang kemudian diteruskan ke Ma’had Darul Musthafa di pesantren Habib Umar bin Muhammad bin Salim bin Hafidz bin Syech abubakar bin Salim di Tarim Hadhramaut Yaman pada tahun 1994 untuk mendalami bidang syari’ah selama empat tahun. Di sana ia mendalami ilmu fiqh, ilmu tafsir Al Qur’an, ilmu hadits, ilmu sejarah, ilmu tauhid, ilmu tasawwuf, mahabbaturrasul, ilmu dakwah, dan ilmu ilmu syariah lainnya.
Habib Munzir Al-Musawa kembali ke Indonesia pada tahun 1998, dan mulai berdakwah dengan mengunjungi rumah-rumah, duduk dan bercengkerama dg mereka, memberi mereka jalan keluar dalam segala permasalahan, lalu atas permintaan mereka maka mulailah Habib Munzir membuka majlis, jumlah hadirin sekitar enam orang, ia terus berdakwah dengan meyebarkan kelembutan Allah swt, yang membuat hati pendengar sejuk, ia tidak mencampuri urusan politik, dan selalu mengajarkan tujuan utama kita diciptakan adalah untuk beribadah kepada Allah swt, bukan berarti harus duduk berdzikir sehari penuh tanpa bekerja dll, tapi justru mewarnai semua gerak gerik kita dengan kehidupan yang Nabawiy, kalau dia ahli politik, maka ia ahli politik yang Nabawiy, kalau konglomerat, maka dia konglomerat yang Nabawiy, pejabat yang Nabawiy, pedagang yang Nabawiy, petani yang Nabawiy, betapa indahnya keadaan ummat apabila seluruh lapisan masyarakat adalah terwarnai dengan kenabawian, sehingga antara golongan miskin, golongan kaya, partai politik, pejabat pemerintahan terjalin persatuan dalam kenabawiyan, inilah Dakwah Nabi Muhammad saw yang hakiki, masing masing dg kesibukannya tapi hati mereka bergabung dg satu kemuliaan, inilah tujuan Nabi saw diutus, untuk membawa rahmat bagi sekalian alam. Majelisnya mengalami pasang surut, awal berdakwah ia memakai kendaraan umum turun naik bus, menggunakan jubah dan surban, serta membawa kitab-kitab. Tak jarang ia mendapat cemoohan dari orang-orang sekitar. Ia bahkan pernah tidur di emperan toko ketika mencari murid dan berdakwah. Kini majlis taklim yang diasuhnya setiap malam selasa di Masjid Al-Munawar Pancoran Jakarta Selatan, yang dulu hanya dihadiri tiga sampai enam orang, sudah berjumlah sekitar 30.000 hadirin setiap malam selasa, Habib Munzir sudah membuka puluhan majlis taklim di seputar Jakarta dan sekitarnya, ia juga membuka majelis di rumahnya setiap malam jum’at bertempat di jalan kemiri cidodol kebayoran.
Nama Rasulullah SAW sengaja digunakan untuk nama Majelisnya yaitu “Majelis Rasulullah SAW”, agar apa-apa yang dicita-citakan oleh majelis taklim ini tercapai. Sebab ia berharap, semua jamaahnya bisa meniru dan mencontoh Rasulullah SAW dan menjadikannya sebagai panutan hidup. Habib Munzir juga rutin melakukan takbir akbar di Istiqlal atau Senayan yang sering dihadiri para pimpinan tertinggi negara Indonesia.
Munzir memiliki dua putra dari istrinya.
Nama beliau Munzir bin Fuad bin Abdurrahman Almusawa, dilahirkan di Cipanas Cianjur Jawa barat, pada hari jum’at 23 februari 1973, bertepatan 19 Muharram 1393H, setelah beliau menyelesaikan sekolah menengah atas, beliau mulai mendalami Ilmu Syariah Islam di Ma’had Assaqafah Al Habib Abdurrahman Assegaf di Bukit Duri Jakarta Selatan, lalu mengambil kursus bhs.Arab di LPBA Assalafy Jakarta timur, lalu memperdalam lagi Ilmu Syari’ah Islamiyah di Ma’had Al Khairat, Bekasi Timur, kemudian beliau meneruskan untuk lebih mendalami Syari’ah ke Ma’had Darul Musthafa, Tarim Hadhramaut Yaman pada tahun 1994, selama empat tahun, disana beliau mendalami Ilmu Fiqh, Ilmu tafsir Al Qur;an, Ilmu hadits, Ilmu sejarah, Ilmu tauhid, Ilmu tasawuf, mahabbaturrasul saw, Ilmu dakwah, dan ilmu ilmu syariah lainnya.
Habib Munzir Al-Musawa kembali ke Indonesia pada tahun 1998, dan mulai berdakwah, dengan mengunjungi rumah rumah, duduk dan bercengkerama dg mereka, memberi mereka jalan keluar dalam segala permasalahan, lalu atas permintaan mereka maka mulailah Habib Munzir membuka majlis, jumlah hadirin sekitar enam orang, beliau terus berdakwah dengan meyebarkan kelembutan Allah swt, yang membuat hati pendengar sejuk, beliau tidak mencampuri urusan politik, dan selalu mengajarkan tujuan utama kita diciptakan adalah untuk beribadah kepada Allah swt, bukan berarti harus duduk berdzikir sehari penuh tanpa bekerja dll, tapi justru mewarnai semua gerak gerik kita dengan kehidupan yang Nabawiy.Kalau dia ahli politik, maka ia ahli politik yang Nabawiy, kalau konglomerat, maka dia konglomerat yang Nabawiy, pejabat yang Nabawiy, pedagang yang Nabawiy, petani yang Nabawiy, betapa indahnya keadaan ummat apabila seluruh lapisan masyarakat adalah terwarnai dengan kenabawian, sehingga antara golongan miskin, golongan kaya, partai politik, pejabat pemerintahan terjalin persatuan dalam kenabawiyan, inilah Dakwah Nabi Muhammad saw yang hakiki, masing masing dg kesibukannya tapi hati mereka bergabung dg satu kemuliaan, inilah tujuan Nabi saw diutus, untuk membawa rahmat bagi sekalian alam. Majelisnya mengalami pasang surut, awal berdakwah ia memakai kendaraan umum turun naik bus, menggunakan jubah dan surban, serta membawa kitab-kitab.
Tak jarang beliau mendapat cemoohan dari orang-orang sekitar. Beliau bahkan pernah tidur di emperan toko ketika mencari murid dan berdakwah. Kini majlis taklim yang diasuhnya setiap malam selasa di Masjid Al-Munawar Pancoran Jakarta Selatan, yang dulu hanya dihadiri tiga sampai enam orang, sudah berjumlah sekitar 10.000 hadirin setiap malam selasa, Habib Munzir sudah membuka puluhan majlis taklim di seputar Jakarta dan sekitarnya, beliau juga membuka majelis di rumahnya setiap malam jum’at bertempat di jalan kemiri cidodol kebayoran, juga sudah membuka majlis di seputar pulau jawa, yaitu:
Jawa barat : Ujungkulon Banten, Cianjur, Bandung, Majalengka, Subang.
Jawa tengah : Slawi, Tegal, Purwokerto, Wonosobo, Jogjakarta, Solo, Sukoharjo, Jepara, Semarang,
Jawa timur : Mojokerto, Malang, Sukorejo, Tretes, Pasuruan, Sidoarjo, Probolinggo.
Bali : Denpasar, Klungkung, Negara, Karangasem.
NTB Mataram, Ampenan
Luar Negeri : Singapura, Johor, Kualalumpur.
Buku-buku yang sering menjadi rujukan beliau di majelisnya antara lain:
kitab As-syifa (Imam Fadliyat), Samailul Muhammadiyah (Imam Tirmidzi), Mukasyifatul Qulub (Imam Ghazali), Tambili Mukhdarim (Imam Sya’rani), Al-Jami’ Ash-Shahih/Shahih Bukhari (Imam Bukhari), Fathul Bari’ fi Syarah Al-Bukhari (Imam Al-Astqalani), serta kitab karangan Imam Al-Haddad dan kitab serta pelajaran yang didapat dari guru beliau Habib Umar bin Hafidh. Nama Rasulullah SAW sengaja digunakan untuk nama Majelisnya yaitu “Majelis Rasulullah SAW”, agar apa-apa yang dicita-citakan oleh majelis taklim ini tercapai.Sebab beliau berharap, semua jamaahnya bisa meniru dan mencontoh Rasulullah SAW dan menjadikannya sebagai panutan hidup.
Adapun guru-guru beliau antara lain:
Habib Umar bin Hud Al-Athas (cipayung), Habib Aqil bin Ahmad Alaydarus, Habib Umar bin Abdurahman Assegaf, Habib Hud Bagir Al-Athas, di pesantren Al-Khairat beliau belajar kepada Ustadz Al-Habib Nagib bin Syeikh Abu Bakar, dan di Hadramaut beliau belajar kepada Al-Imam Al-Allamah Al-Hafizh Al-Arifbillah Sayyidi Syarif Al-Habib Umar bin Muhammad bin Hafidh bin Syeikh Abu Bakar bin Salim (Rubath Darul Mustafa), juga sering hadir di majelisnya Al-Allamah Al-Arifbillah Al-Habib Salim Asy-Syatiri (Rubath Tarim).
Dan yang paling berpengaruh didalam membentuk kepribadian beliau adalah Guru mulia Al-Imam Al-Allamah Al-Hafizh Al-Arifbillah Sayyidi Syarif Al-Habib Umar bin Muhammad bin Hafidh bin Syeikh Abu Bakar bin Salim.
Salah satu sanad Guru beliau adalah:
Al-Habib Munzir bin fuad Al-Musawa berguru kepada Guru Mulia Al-Imam Al-Allamah Al-Hafizh Al-Musnid Al-Arifbillah Sayyidi Syarif Al-Habib Umar bin Muhammad bin Hafidh bin Syeikh Abu Bakar bin Salim, Dan beliau berguru kepada Al-Allamah Al-Musnid Al-Habib Abdulqadir bin Ahmad Assegaf, Dan beliau berguru kepada Al-Allamah Al-Musnid Al-Habib Abdullah Assyatiri, Dan beliau berguru kepada Al-Allamah Al-Hafizh Al-Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi (simtuddurar), Dan beliau berguru kepada Al-Allamah Al-Musnid Al-Habib Abdurrahman Al-Masyhur (shohibulfatawa), Dan beliau berguru kepada Al-Allamah Al-Hafizh Al-Habib Abdullah bin Husen bin Thohir, Dan beliau berguru kepada Al-Allamah Al-Hafizh Al-Habib Umar bin Seggaf Assegaf, Dan beliau berguru kepada Al-Allamah Al-Musnid Al-Habib Hamid bin Umar Ba’alawiy, Dan beliau berguru kepada Al-Allamah Al-Habib Al-Hafizh Ahmad bin Zein Al-Habsyi, Dan beliau berguru kepada Al-Imam Al-Allamah Al-Hafizh Al-Habib Abdullah bin Alawi Al-Haddad (shohiburratib), Dan beliau berguru kepada Al-Allamah Al-Musnid Al-Habib Husein bin Abubakar bin Salim, Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Imam Al-Allamah Al-Habib Abubakar bin Salim (fakhrulwujud), Dan beliau berguru kepada Al-Allamah Al-Hafizh Al-Habib Ahmad bin Abdurrahman Syahabuddin, Dan beliau berguru kepada Al-Allamah Al-Hafizh Al-Habib Abdurrahman bin Ali (Ainulmukasyifiin), Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Allamah Al-Musnid Al-Habib Ali bin Abubakar (assakran), Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Allamah Al-Hafizh Al-Habib Abubakar bin Abdurrahman Assegaf, Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Allamah Al-Hafizh Al-Habib Abdurrahman Assegaf, Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Allamah Al-Musnid Al-Habib Muhammad Mauladdawilah, Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Allamah Al-Musnid Al-Habib Ali bin Alwi Al-ghayur, Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Allamah Al-Hafizh Al-Imam faqihilmuqaddam Muhammad bin Ali Ba’alawiy, Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Allamah Al-Imam Ali bin Muhammad Shahib Marbath, Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Allamah Al-Imam Muhammad Shahib Marbath bin Ali, Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Allamah Al-Imam Ali Khali’ Qasam bin Alwi, Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Allamah Al-Imam Alwi bin Muhammad, Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Allamah Al-Imam Muhammad bin Alwi, Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Allamah Al-Imam Alwi bin Ubaidillah, Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Allamah Al-Imam Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir, Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Allamah Al-Imam Ahmad Al-Muhajir bin Isa Arrumiy, Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Allamah Al-Imam Isa Arrumiy bin Muhammad Annaqib, Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Allamah Al-Imam Muhammad Annaqib bin Ali Al-Uraidhiy, Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Allamah Al-Imam Ali Al-Uraidhiy bin Ja’far Asshadiq, Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Allamah Al-Imam Ja’far Asshadiq bin Muhammad Al-Baqir, Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Allamah Al-Imam Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin, Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Allamah Al-Imam Ali Zainal Abidin Assajjad, Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Imam Husein ra, Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Imam Ali bin Abi Thalib ra, Dan beliau berguru kepada Semulia-mulia Guru, Sayyidina Muhammad Rasulullah SAW, maka sebaik-baik bimbingan guru adalah bimbingan Rasulullah SAW.
Sanad guru beliau sampai kepada Rasulullah SAW, begitu pula nasabnya.

biografi habib hasan bin ja`far assegaf



Habib Hasan bin Ja’far Assegaf lahir di bogor tahun 1977, di tengah-tengah wilayah para ulama besar termasuk almarhum kakek beliau Al Imam Al Qutub Al Habib Abdullah bin Muhsin Alatas sebagai pemimpin para wali dizamannya. Silsilah beliau menyambung dari ibundanya, yaitu Syarifah Fatmah binti Hasan bin Muhsin bin Abdullah Alatas.
1. Silsilah :
Al Habib Hasan bin Ja’far bin Umar bin Ja’far bin Syekh bin Abdullah bin Seggaf bin Ahmad bin Abdullah bin Alwi bin Abdullah bin Ahmad bin Adurrahman Seggaf bin Ahmad Syarif bin Abdurrahman bin Alwi bin Ahmad bin Alwi bin Syekhul Kabir Abdurrahman Assegaf bin Muhammad Maula Dawileh bin Ali bin Alwi Al Ghuyur bin Al Faqihil Muqaddam Muhammad bin Ali bin Muhammad Shohibul Mirbath bin Ali Kholi Qosam bin Aliw bin Muhammad bin alwi bin Ubaidillah bin Ahmad Al Muhajir bin Isa bin Muhammad An Naqib bin Ali Al Uraidhi bin Ja’far sodiq bin Muhammad Al Baqir bin Ali Zaenal Abidin bin Al Imam Husein Assibit bin Imam Ali KWH bin Fatimah Al Batul Binti Nabi Muhammad SAW
2. Pendidikan
Beliau belajar dengan para habaib dan ulama, diantaranya :
Al Imam Al Hafidz Al Musnid Al Habib Abdullah bin Abdul qadir Bilfaqih dan putera-putera beliau : Habib Abdul qadir bilfaqih, Habib Muhammad bilfaqih, Habib Abdurrahman bilfaqih ( Pondok pesantren Daarul Hadits Al Faqihiyyah, Malang ).
• Syekh Abdullah Abdun, Daruttauhid malang
• Syekh Umar Bafadhol, Surabaya
• Al Imam Al Arif billah Al Habib Abdurrahman bin Ahmad bin Abdul qadir Assegaf dan putera-putera beliau diantaranya Al Habib Ali bin Abdurrahman Assegaf (Yayasan Ats-Tsaqofah Al Islamiyyah ).
• Al Habib Muhammad Anis bin Alwi Al Habsyi (selaku yang mengijazahkan maulid simtudduror).
• Al Habib Abdullah bin Husein syami Alatas dikediaman beliau R.a.
• Al Habib Abubakar bin Hasan Alatas, Martapura.
• KH. Dimyati, Banten.
• KH. Mama Satibi dan putera beliau, Cianjur.
• KH. Buya Yahya, Bandung
• Muallim Sholeh, Bogor.
Dan masih banyak lagi para ulama lainnya.
3. Dakwah Beliau
Dakwah beliau menjunjung tinggi Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW. Mengajak para pemuda pemudi, orang-orang tua maupun anak kecil berdzikir dan bersholawat yang dimulai dari :
• Kota bogor
• Sukabumi
• Bandung
• Jakarta dan sekitarnya.
4. Tujuan Dakwah
Mengikuti kakek moyang beliau sampai kejunjungan Nabi Besar Muhammad SAW. Dan mengajak para muslimin dan muslimat :
• Membaca Al-Qur’an.
• Membaca Ratib Al-Atas dan Ratib Al-Haddad
• Mengenalkan salaf sholihin dengan berziarah kepada para wali Allah ketempat orang-orang sholeh.
• Membesarkan nama Rasulullah dengan pembacaan maulid
Harapan
Bersabda Nabi Muhammad SAW : “ Seorang bersama yang dicintainya “, harapan beliau agar diakui oleh Rasulullah SAW dan datuk-datuknya. Semoga semua ummat Rasulullah SAW mendapat ridho Allah dan syafaat Rasulullah SAW, kelak nanti dihari kiamat masuk surga bersama Nabi Muhammad SAW.
Bersabda Nabi Muhammad SAW : “ Apabila telah tersebar perzinahan, perjudian, permabukan, anak durhaka kepada orang tua, istri durhaka kepada suami dan banyaknya yang makan riba maka masuklah kalian kejalan keluargaku, selamatlah kalian dari malapetaka (Riwayat Abu Daud).
HABIB JINDAN
Kemampuannya sebagai dai bukan hanya karena dia adalah cucu Habib Salim bin Ahmad bin Jindan, “Singa Podium” dan pejuang dakwah di Betawi tahun 1906-1969. Tapi juga karena sedari kecil dia memang telah tertempa dalam lingkungan pendidikan yang sarat religius.
Wajah dai yang satu ini tentu sudah banyak dikenal kalangan habaib dan muhibbin yang ada di Indonesia. Usianya masih relatif muda, 31 tahun, namun reputasinya sebagai ulama dan muballig sudah diakui kaum muslimin. Tidak saja di Jakarta, tapi juga di banyak majelis haul dan Maulid yang digelar di berbagai tempat – seperti Gresik, Surabaya, Solo, Pekalongan, Tegal, Semarang, Bandung, Palembang, Pontianak dan Kalimantan. Hampir semua daerah di negeri ini sudah dirambahnya.
Kemampuannya sebagai dai bukan hanya karena dia adalah cucu Habib Salim bin Ahmad bin Jindan, “Singa Podium” dan pejuang dakwah di Betawi tahun 1906-1969. Tapi juga karena sedari kecil dia memang telah tertempa dalam lingkungan pendidikan yang sarat religius.
Wajah ulama muda yang shalih ini tampak bersih. Tutur katanya halus, dengan gaya berceramahnya yang enak didengar dan mengalir penuh untaian kalam salaf serta kata-kata mutiara yang menyejukkan para pendengarnya. Seperti kebanyakan habib, dia pun memelihara jenggot, dibiarkannya terjurai.
Habib Jindan, putra Habib Novel bin Salim bin Jindan Bin Syekh Abubakar, adalah salah seorang ulama yang terkenal di Jakarta. Ia juga dikenal sebagai penerjemah bahasa Arab ke bahasa Indonesia yang andal. “Ketika dia menerjemahkan taushiyah gurunya, Habib Umar bin Hafidz, makna dan substansinya hampir sama persis dengan bahasa aslinya. Bahkan waktunya pun hampir sama dengan waktu yang digunakan oleh Habib Umar,” tutur Habib Ali bin Abdurrahman Assegaf di Jakarta.
Berkah Ulama dan Habaib
Habib Jindan bin Novel bin Salim Jindan lahir di Sukabumi, pada hari Rabu 10 Muharram 1398 atau 21 Desember 1977. Sejak kecil ia selalu berada di lingkungan majelis ta’lim, yang sarat dengan pendidikan ilmu-ilmu agama. “Waktu kecil saya sering diajak ke berbagai majelis ta’lim di Jakarta oleh abah saya, Habib Novel bin Salim bin Jindan. Dari situ saya mendapat banyak manfaat, antara lain berkah dari beberapa ulama dan habaib yang termasyhur,” kenang bapak lima anak (empat putra, satu putri) ini kepada alKisah. Ayahandanya memang dikenal sebagai muballigh yang termasyhur. Pengalaman masa kecil itu pula yang mendorongnya selalu memperdalam ilmu agama.
Ketika ia berumur dua tahun, keluarganya tinggal di Pasar Minggu, bersebelahan dengan rumah keluarga Habib Salim bin Toha Al-Haddad. Pada umur lima tahun, ia dititipkan untuk tinggal di rumah Habib Muhammad bin Husein Ba’bud dan putranya, Habib Ali bin Muhammad bin Husein Ba’abud, di Kompleks Pondok Pesantren Darun Nasyi’ien (Lawang, Malang). “Di Lawang, sehari-hari saya tidur di kamar Habib Muhammad Ba’bud. Selama di sana, dibilang mengaji, tidak juga. Namun berkah dari tempat itu selama setahun saya tinggal, masih terasa sampai sekarang,” ujarnya dengan senyum khasnya.
Menginjak umur enam tahun, ia ikut orangtuanya pindah ke Senen Bungur. Ia mengawali belajar di SD Islam Meranti, Kalibaru Timur (Bungur, Jakarta Pusat). Ia juga belajar diniyah pada sebuah madrasah yang diasuh oleh Ustadzah Nur Baiti.
Kemudian dia melanjutkan ke tingkat tsanawiyah di Madrasah Jami’atul Kheir, Jakarta, hingga tingkat aliyah, tapi tidak tamat. Selama di Jami’at Kheir, banyak guru yang mendidiknya, seperti Habib Rizieq Shihab, Habib Ali bin Ahmad Assegaf, K.H. Sabillar Rosyad, K.H. Fachrurazi Ibrahim, Ustadz Syaikhon Al-Gadri, Ustadz Fuad bin Syaikhon Al-Gadri, dan lain-lain.
Sejak muda, sepulang sekolah ia selalu belajar pada habaib dan ulama di Jakarta, seperti di Madrasah Tsaqafah Islamiyah, yang diasuh Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf dan putranya, Ustadz Abu Bakar Assegaf. Habib Jindan juga pernah belajar bahasa Arab di Kwitang (Senen, Jakarta Pusat) di tempat Habib Muhammad bin Ali Al-Habsyi, dengan ustadz-ustadz setempat.
Selain itu pada sorenya ia sering mengikuti rauhah yang digelar oleh Majelis Ta’lim Habib Muhammad Al-Habsyi. Di majelis itu, banyak habib dan ulama yang menyampaikan pelajaran-pelajaran agama, seperti Habib Abdullah Syami’ Alattas, Habib Muhammad Al-Habsyi, Ustadz Hadi Assegaf, Habib Muhammad Mulachela, Ustadz Hadi Jawwas, dan lain-lain.
Beruntung, karena sering berada di lingkungan Kwitang, ia banyak berjumpa para ulama dari mancanegara, seperti Sayid Muhammad bin Alwi Al-Maliki, Habib Ja’far Al-Mukhdor, Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf, dan masih banyak lainnya.
Pada setiap Ahad pagi, ia hadir di Kwitang bersama abahnya, Habib Novel, yang juga selalu didaulat berceramah. Sekitar 1993, ia bertemu pertama kali dengan Habib Umar Hafidz di Majlis Ta’lim Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi (Kwitang) saat pengajian Ahad pagi. Pertemuan kedua terjadi saat Habib Umar bin Salim Al-Hafidz berkunjung ke Jami’at Kheir. Saat itu yang mengantar rombongan Habib Umar adalah Habib Umar Mulachela dan Ustadz Hadi Assegaf.
Uniknya, satu-satunya kelas yang dimasuki Habib Umar adalah kelasnya, padahal di Jami’at Kheir saat itu ada belasan kelas. Begitu masuk kelas, Ustadz Hadi Assegaf dari depan kelas memperkenalkannya dengan Habib Umar bin Salim Al-Hafidz. Saat itu, Ustadz Hadi menunjuknya sambil mengatakan kepada Habib Umar bahwa dirinya juga bermarga Bin Syekh Abu Bakar bin Salim, sama klannya dengan Habib Umar bin Salim Al-Hafidz.
Saat itulah Habib Umar tersenyum sambil memandang Habib Jindan. Itulah perkenalan pertama Habib Jindan dengan Habib Umar Al-Hafidz di ruang kelasnya, yang masih terkenang sampai sekarang.
Sejak saat itu hatinya tergerak untuk belajar ke Hadhramaut. Pernah suatu ketika ia akan berangkat ke Hadhramaut, tapi sayang sang pembawa, Habib Bagir bin Muhammad bin Salim Alattas (Kebon Nanas), meninggal. Pernah juga ia akan berangkat dengan salah satu saudaranya, tapi saudaranya itu sakit. Hingga akhirnya tiba-tiba Habib Abdul Qadir Al-Haddad (Al-Hawi, Condet) datang ke rumahnya mengabarkan bahwa Habib Umar bin Hafidz menerimanya sebagai santri.
Sumber Inspirasi
Lalu ia berangkat bersama rombongan pertama dari Indonesia yang jumlahnya 30 orang santri. Di antaranya Habib Munzir bin Fuad Al-Musawwa, Habib Qureisy Baharun, Habib Shodiq bin Hasan Baharun, Habib Abdullah bin Hasan Al-Haddad, Habib Jafar bin Bagir Alattas, dan lain-lain. Ia kemudian belajar agama kepada Habib Umar bin Hafidz di Tarim, Hadhramaut. “Ketika itu Habib Umar belum mendirikan Pesantren Darul Musthafa. Yang ada hanya Ribath Tarim. Kami tinggal di rumah Habib Umar,” tuturnya.
Baru dua minggu di Hadhramaut, pecah perang saudara di Yaman. Memang, situasi perang tidak terasa di lingkungan pondok. Ada perang atau tidak, Habib Umar tetap mengajar murid-muridnya. Namun dampak perang saudara ini dirasakan seluruh penduduk Yaman. Listrik mati, gas minim, bahan makanan langka. “Terpaksa kami masak dengan kayu bakar,” katanya.
Baginya, Habib Umar bin Hafidz bukan sekadar guru, tapi juga sumber inspirasi. “Saya sangat mengagumi semangatnya dalam berdakwah dan mengajar. Dalam situasi apa pun, beliau selalu menekankan pentingnya berdakwah dan mengajar. Bahkan dalam situasi perang pun, tetap mengajar. Beliau memang tak kenal lelah.”
Saat itu Darul Musthafa belum mantap seperti sekarang, situasinya serba terbatas. Walaupun begitu, sangat mengesankan baginya. Dahulu para santri tinggal di sebuah kontrakan yang sederhana di belakang kediaman Habib Umar. Sedangkan pelajaran ta’lim, selain diasuh sendiri oleh Habib Umar, para santri juga belajar di berbagai majelis ta’lim yang biasa digelar di Tarim, seperti di Rubath Tarim, Baitul Faqih, Madrasah Syeikh Ali, mengaji kitab Bukhari di Masjid Ba’alwi, ta’lim di Zawiyah Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad (Al-Hawi, Hadhramaut), belajar kitab Ihya di Zanbal di Gubah Habib Abdullah bin Abubakar Alaydrus, Zawiyah Mufti Tarim, diasuh Syaikh Fadhal bin Abdurrahman Bafadhal, dan lain-lain.
Selama mengaji dengan Habib Umar, ia sangat terkesan. “Beliau dalam mengajar tidak pernah marah. Saya tidak pernah mendengar beliau mengomel atau memaki-maki kami. Kalau ada yang salah, ditegurnya baik-baik dan dikasih tahu. Selain itu, Habib Umar juga terkenal sangat istiqamah dalam hal apa pun.”
Habib Jindan mengaku sangat beruntung bisa belajar dengan seorang alim dan orator ulung seperti Habib Umar. Memang Habib Umar mendidik santri-santrinya bisa berdakwah. Para santri mendapat pendidikan khusus untuk memberikan taushiyah dalam bahasa Arab tiap sehabis shalat Subuh, masing-masing dua orang, walaupun hanya sekitar lima sampai sepuluh menit. Latihan kultum itu juga menjadi ajang saling memberikan masukan antarsantri.
Setelah satu tahun menjadi santri, ada program dakwah tiga hari sampai seminggu bagi yang mau dakwah berkeliling. Bahkan dirinya sudah mengajar untuk santri-santri senior pada akhir-akhir masa pendidikan.
Setelah selama kurang lebih empat tahun, tahun 1998, ia pulang ke Indonsia bersama rombongan Habib Umar yang mengantar sekaligus santri-santri asal Indoensia dan berkunjung ke rumah beberapa muridnya. Angkatan pertama ini hampir seluruhnya dari Indonesia, hanya dua-tiga orang yang santri setempat. Untuk itulah, ia pulang seminggu terlebih dahulu, untuk mempersiapkan acara dan program kunjungan Habib Umar di Indonesia.
Saat pertama kali pulang, ia, oleh sang abah, diperintahkan untuk berziarah ke para habib sepuh yang ada di Jakarta, Bogor, dan sekitarnya. Ayahandanya, Habib Novel, Habib Hadi bin Ahmad Assegaf, dan Habib Anis Al-Habsyi mendorongnya untuk berdakwah.
Masukan, didikan, dan motivasi sang abah ia rasakan hingga sekarang. “Ikhlaslah dalam berdakwah. Apa yang keluar dari hati akan sampai ke hati,” kata Habib Jindan menirukan abahnya. Habib Novel (alm.) memang dikenal sebagai orator ulung sebagaimana abahnya, Habib Salim bin Jindan. Wajarlah bila Habib Novel ingin putra-putranya menjadi dai-dai yang tangguh.
“Kalau ceramah, jangan terlalu panjang. Selagi orang sedang asyik, kamu berhenti. Jangan kalau orang sudah bosan, baru berhenti, nanti banyak audiens kapok mendengarnya. Lihat situasi dan keadaannya, sesuaikan dengan materi ceramahnya dan waktu ceramahnya. Lihat, kalau di situ ada beberapa penceramah, kamu harus batasi waktu berceramah dan bagi-bagi waktunya dengan yang lain.” Sampai masalah akhlaq dan sopan santun, semua orang diajarkan.

KH Said bin Armia, Tegal

 http://t2.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcTtMAXO3gfj6f1qO-hsSPKYbBB6uzyshydmlTlcWmIMx7XN8kznBQ


 
KH. Sa’id bin KH. Armia adalah seorang waliyullah dari Tegal, Jawa Tengah. Beliau adalah seorang Kyai yang zuhud dan wira’i. Dalam kehidupan rumah tangganya serba pas-pasan tidak muluk-muluk laiknya para Pejabat yang serba mewah, padahal beliau sang Kyai adalah Kyai terkenal dan sebagai Pengasuh Pondok Pesantren Attauhidiyyah Giren, Talang, Tegal.
Suatu hari istri sang Kyai, saat berada di tempat cucian baju sambil memegang gayung untuk mengambil air dari dalam kolam, membatin dalam hatinya: “Ya Allah, aku ingin memiliki emas.”
Seketika itu juga gayung yang ia pegang berubah menjadi emas. Sang Kyai yang melihat kejadian itu menangis dengan penuh kesedihan sambil berkata: “Ya Allah ampunilah istri hambaMu ini yang mempunyai keinginan dunia dalam hatinya.”
Sang istri yang melihat kedatangan suaminya dan mendengar perkataan sang Kyai menjadi malu dan bertobat kepada Allah Swt.
Al-Habib Abdurrahman bin Abdullah bin Abdul Qadir Bilfaqih, Pengasuh Pondok Pesantren Darul Hadits al-Faqihiyyah Malang yang sekaligus murid dari KH. Said bin KH. Armia, pernah menceritakan bahwa sewaktu beliau belum menjadi murid KH. Said beliau melihat dari mata batin sebuah cahaya yang memancar ke atas menembus langit dari suatu tempat, karena penasaran beliau mencari sumber cahaya tersebut hingga sampailah beliau di desa Cikura, Bojong, Tegal, Jawa Tengah dan ternyata sumber cahaya tersebut berasal dari Pemakaman Umum di desa tersebut.
Beliaupun bertanya-tanya; “Siapakah yang dimakamkan di sana? Amalam apa yang menyebabkan makam tersebut mengeluarkan cahaya hingga menembus langit?”
Dan makam tersebut adalah makam seorang waliyullah yang agung yaitu Hadhratus Syeikh KH. Armia bin KH. Kurdi, salah seorang ulama yang selalu mengajarkan kepada masyarakat sekitar tentang Tauhidullah. Beliaupun tertarik untuk belajar kepada putranya yaitu KH. Said bin KH. Armia.

Sebelumnya Haul KH. Armia belum pernah ada karena KH. Said pernah diwasiati ayahnya untuk tidak mengadakannya. Namun atas usulan al-Habib Abdurrahman Bilfaqih yang mengusulkan untuk selalu mengadakan Haul KH. Armia secara besar-besaran inilah akhirnya sampai sekarang Haul beliau selalu ramai dikunjungi umat Islam dari dalam dan luar negeri. Beliau al-Habib Abdurrahman Bilfaqih memberikan alasan karena untuk mengenang perjuangan KH. Armia dalam mensyiarkan Agama Allah terutama ilmu-ilmu Tauhid.
KH. Hasani  bin KH. Said pernah bercerita bahwa al-‘Allamah Syekh Ali Basalamah  Mursyid Thariqat Tijaniyyah dari Jatibarang, Brebes, Jawa Tengah, mendengar bahwa di Tegal ada seorang Ulama yang mengajarkan Tauhid Imam as-Sanusi. Beliaupun akhirnya datang ke Tegal untuk bersilahturrahim. Sesampainya di  Tegal beliau melihat KH. Said bin KH. Armia sedang mengajarkan Kitab Imam as-Sanusi dan di sebelah kanan KH. Said tampak Sayyidul Wujud Baginda Nabi Agung Muhammad Saw. dan di sebelah kiri KH. Said tampak  al-Imam as-Sanusi Ra. Hal ini menunujukan bahwa KH. Said memilki derajat kewalian yang tinggi dan ilmu yang diajarkan adalah ilmu yang haq dan bermanfaat.
Tak terhitung jumlahnya murid-murid KH. Said yang menjadi ulama besar. Diantaranya adalah al-Habib M. Luthfi bin Ali bin Hasyim bin Yahya dan al-Habib Abdurrahman bin Abdullah bin Abdul Qadir bin Ahmad Bilfaqih.
Sekitar tahun 1974, Sahlan salah satu murid KH. Said, setiap selesai mengaji pada hari Kamis pagi, beliau selalu sowan ke hadapan al-Marhum KH. Said untuk memijatnya. Saat KH. Said sedang sakit, seminggu sebelum beliau wafat, beliau meminta Sahlan untuk dimasakkan ikan tenggiri dengan dimasak secara dipes atau dipanggang dibungkus dengan daun pisang dan nasinya juga dibungkus dengan daun pisang.
Tapi apalah daya usaha untuk mendapatkan ikan tenggiri di TPI Suradadi, Tegal saat itu sangat sulit. Setiap kali ada perahu yang baru mendarat dan dilihat ternyata tidak ada ikan tenggirinya. Karena waktu hampir jam empat sore akhirnya Sahlan membeli ikan bandeng. Setelah sampai di rumah ikan bandeng tersebut dimasak sesuai pesanan beliau. Kemudian paginya dibawa ke hadapan KH. Said dan selanjutnya beliau pun melahapnya.
Setelah selesai makan, beliau KH. Said berkata kepada Sahlan yang ternyata untuk terakhir kalinya: “Kamu akan punya sumur yang airnya banyak.”
KH. Said bin KH. Armia adalah seorang ulama dan waliyullah yang wafat pada tanggal 20 Rajab tahun1395 H atau sekitar tahun 1974 M dan dimakamkan tak jauh dari Pondok Pesantren Attauhidiyyah, Giren, Talang, Tegal.


Pernah diceritakan oleh salah seorang Guru saya Alhabib Abdurrahman Bin Habib Abdulloh bilfaqih , beliau adalah Pengasuh Pon-pes Darul Hadist Al faqihiyyah Malang dan murid Dari KH.Said bin Kh.Armia, sewaktu beliau belum menjadi murid KH.Said beliau melihat dari mata batin batin Sebuah Cahaya yang memancar keatas menembus langit dari suatu tempat, karena penasaran beliau mencari sumber cahaya tersebut hingga sampailah beliau di desa Cikura  Tegal Jawa tengah dan sumber cahaya tersebut berasal dari Pemakaman Umum didesa tersebut. Beliaupun bertanya siapa yang di maqomkan disana? amalam apa yang menyerbabkan maqom tersebut mengeluarkan cahaya hingga menembus langit…Dan Maqom tersebut adalah Maqom KH.Armia salah seorang ulama yang selalu mengajarkan kepada masyarakat sekitar tentang Tauhid kitab yang yang di kaji adalah kitab tauhid Imam Sanusi. Beliaupun tertarik untuk belajar kepada putranya KH.Said bin Kh Armia, dan beliaupun mengusulkan untuk selalu mengadakan Haul Bapaknya KH.Armia secara besar-besaran untuk mengenang perjuangan KH.Armia dalam mensyiarkan Agama Alloh terutama ilmu-ilmu tauhid . Dan setiap kali diadakan Acara Haul maka Ribuan orang baik ulama maupun para habaib  dari berbagai daerah hadir untuk memperingati haul KH.Armia.

Dan diceritakan pula oleh Putra Kh.Said yaitu KH.Hasani  bahwa Al Alamah Syeck Ali Basalamah  (Mursyid Tarekat Tijani  jatibarang brebes jawa tengah) mendengar bahwa di Tegal ada seorang Ulama yang mengajar Tauhid Imam Sanusi , beliaupun datang ketegal untuk bersilahturahim ,sesampainya di  Tegal beliau melihat KH.Said Bin Kh.Armia sedang mengajar Kitab Imam Sanusi dan di sebelah Kanan KH.Said tampak Sayyidul Wujud Rosululloh SAW dan di sebelah kiri KH.Said Tampak Shohibul KItab Imam Sanusi RA hal ini menunujukan KH.Said Bin Kh.Armia memilki derajat kewalian yang tinggi dan ilmu yang diajarkan adalah haq.

Suatu hal yang Menarik Dari Pesantren Attuahidiyyah ini adalah bila bulan puasa tiba santri dalam atau santri pondok banyak yang pulang ke kampung halammnya sampai satu hingga dua minggu. Mereka bertemu keluarga dan sanak saudara. Sedangkan kegiatan pondok diisi oleh santri kalong( Julukan untuk warga luar pesantren atau masyarakat umum yang mengikuti pengajian ) ,Mereka mendapatkan aneka wejangan dari santri senior ponpes Attauhidiyyah Selain itu juga mereka langsung mendapat gemblengan dari Pimpinan dan Pengasuh Ponpes KH Ahmad bin KH Said bin KH Armia. Gemblengan yang diberikan antara lain soal gambaran umum ilmu ketauhidan, tafsir kitab kuning dan wejangan lain yang bersifat bimbingan moral dan agama. Dengan tujuan akhir, santri mendapat bekal dalam mengarungi hidup di luar ponpes. Kegiatan lain yang cukup mendapat perhatian santri adalah membaca Kitab Suci Al-Qur’an setelah salat tarawih. Atau usai menjalankan salat-salat fardhlu (salat wajib) lainnya. Mereka yang dapat selesai membaca kitab suci itu dalam waktu yang sudah ditentukan dan benar, maka disebut telah selesai khatam.

Nah tiap selesai khatam itulah, santri seperti mendapat sesuatu yang lebih. Mereka kemudian mendapat hidangan nasi kebuli dari pimpinan ponpes. Satu nasi kebuli yang ditaruh di nampan, dinikmati untuk empat hingga lima orang. Mereka menyantap beramai-ramai.

Lantas apa yang membuat mereka seperti ketagihan menikmati hidangan nasi kebuli? Tentu karena resep masakan yang khas, yang sengaja dibuat dan disajikan oleh santri senir ponpes tersebut.

Menurut santri senior , hidangan nasi kebuli dibuat dari campuran santan, susu, dan daging kambing. Orang melihat sekilas nasi itu seperti nasi goreng, namun punya perbedaan rasa yang khas dan sulit disamakan.

“Ya, karena kami memasak dengan cita rasa yang khas, siapa pun yang mencicipi pasti langsung ketagihan. Hanya saja, yang kena penyakit darah tinggi jangan makan daging kambingnya. Kalau sayurnya sih ndak papa,” tutur dia.

tiap malam ribuan orang menjadi santri kalong di ponpes itu. Mereka berbuka puasa bersama dan mendengarkan wejangan keagamaan dari KH Ahmad bin KH Said bin KH Armia. Selain itu, digembleng pula oleh KH Hasani yang merupakan orang kedua atau pengasuh dua ponpes tersebut.

Perjalanan saya kali ini Ke Tegal ke pon-pes Attauhidiyyah secara kebetulan bersamaan dengan wafatnya anak seorang ulama karismatik dan menjadi panutan di kota Tegal Almarhum Kh.Miftah bernama KH.Hadun Bin KH.Miftah warga sekitar biasa memanggil dengan sebutan Gus Hadun lokasinya tak jauh dari Pon-pes attauhidiyah, Gus Hadun wafat pada hari selasa tanggal 16 oktober 2007 dan dimakamkan di samping maqom ayahnya Kh.Miftah .Ribuan warga berdatangan untuk turut menguburkan Gus Hadun termasuk Para ulama dan Habaib setempat , sempat pula saya menyalami KH.Hasani Bin KH.Said disana namun sayang saya tidak sempat bertemu dengan KH.Ahmad Bin KH.Said yang menurut santri beliau ada di luar kota.

tepat pukul1 0.00 jenazah Gus Hadun di kuburkan diiringi dengan gema tahlil dan tahmid dari para jamaah …semoga Alloh menempatkannya pada derajat yang mulai bersama para kekasih Allloh aminn.

Selepas mengikuti prosesi penguburan saya pergi berziarah ke Maqom Kh.Said bin Kh armia yang letaknya tak jauh dari sana,dan setelah itu berziarah ke maqom Habib Muhammad Bin Thohir Al hadad yang letaknya kurang lebih 10 km dari Pon-pes Attauhidiyah Giren Talang . “Ya Alloh Tuhan kami Berilah kami kemamfaatan dengan berkah mereka”…..”tunjukan kami akan kebaikan dengan keagungan mereka”…”matikan kami didalam thoriqoh mereka”….”serta selamat dari segala fitnah”….


https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjsJqN8sPmuL2H7x9xHSma8nHyWODXtHScFjXxUnHJ0Xx-nmfO8HgRsby-pJ65N7Z301xP_MGXrzM-Ma2aIZMb-qGgvfGbvlwq6v6UgBEurukff4Q_ZIlmTQUPQsLR2TfZUjZ1WgahtZMM/s1600/Habib+Mundzir+dan+KH.+Ahmad+Saidi.jpg




https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEioyuiaIXag0gzQIhPOWVaHNv5jrseNTSPMqGI5CK1xi8ale-CuX6NE8e1sIKS_mHVyS6ys4mVFDowlNdxwv1X3OXJcmPcjTGm8JUcrCIO8s5B2lNJ-z8vBWrbVHT4Kims16t-KLYflaUg/s1600/haul+yai+armia.jpg

Guru Mulia al-Habib Umar bin Hafidz

Nasab


Nasab beliau yang mulia ialah al-Habib ‘Umar bin Muhammad bin Salim bin Hafiz bin Abd-Allah bin Abi Bakr bin‘Aidrus bin al-Hussain bin al-Shaikh Abi Bakr bin Salim bin ‘Abd-Allah bin ‘Abd-al-Rahman bin ‘Abd-Allah bin al-Shaikh ‘Abd-al-Rahman al-Saqqaf bin Muhammad Maula al-Daweela bin ‘Ali bin ‘Alawi bin al-Faqih al-Muqaddam Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad Sahib al-Mirbat bin ‘Ali Khali‘ Qasam bin ‘Alawi bin Muhammad bin ‘Alawi bin ‘Ubaidallah bin al-Imam al-Muhajir to Allah Ahmad bin ‘Isa bin Muhammad bin ‘Ali al-‘Uraidi bin Ja'far al-Sadiq bin Muhammad al-Baqir bin ‘Ali Zain al-‘Abidin bin Hussain cucu Nabi, putera kepada pasangan ‘Ali bin Abu Talib dan Fatimah al-Zahra puteri Baginda Nabi Muhammad Sallallahu ‘alaihi wa alihi wa sohbihi wasallam.

Kehidupan


Beliau dilahirkan sebelum waktu fajar hari Isnin, 4 Muharram 1383 H bersamaan 27 Mei 1963M di Kota Tarim, Hadramaut, salah satu kota tertua di Yaman yang menjadi sangat terkenal di seluruh dunia dengan ramainya para ilmuwan dan para alim ulama yang dihasilkan dari kota ini selama berabad-abad lamanya. Beliau dibesarkan di dalam keluarga yang memiliki tradisi keilmuan Islam dan kejujuran moral dengan ayahnya yang merupakan seorang pejuang syahid yang terkenal, ahli intelektual, penda'wah yang ulung, iaitu Habib Muhammad bin Salim bin Hafiz bin Shaikh Abu Bakr bin Salim yang juga merupakan Mufti Kota Tarim al-Ghanna.


Demikian juga kedua-dua datuk beliau, al-Habib Salim bin Hafiz dan al-Habib Hafiz bin Abd-Allah yang juga merupakan para intelektual Islam yang sangat dihormati kaum 'ulama dan intelektual Muslim pada zamannya. Allah seakan-akan telah menyediakan kondisi dan persekitaran yang sesuai bagi al-Habib ‘Umar melalui hubungannya dengan para intelektual muslim di sekitarnya serta kemuliaan yang muncul daripada kalangan keluarganya sendiri dan lingkungan masyarakat di mana beliau dibesarkan.




Beliau telah mampu menghafal Al Qur’an pada usia yang sangat muda dan beliau juga menghafal banyak teks dan matan dalam ilmu Fiqh, Hadith, Bahasa Arab dan berbagai-bagai lagi cabang ilmu lain. Beliau turut serta dalam halaqah ilmu yang dikendalikan oleh ramai ulama-ulama tradisional seperti al-Shaikh Muhammad bin ‘Alawi bin Shihab, al-Shaikh Fadl Baa Fadl dan juga para ulama lain yang mengajar di Ribat, Tarim yang terkenal itu. Maka beliau pun mempelajari ilmu-ilmu agama dan kerohanian dari ayahnya yang meninggal syahid, al-Habib Muhammad bin Salim, yang daripadanya beliau dapatkan cinta dan perhatian yang mendalam pada da'wah dan bimbingan keagamaan mengikut cara yang dikehendaki Allah SWT. Ayahnya begitu memperhatikan al-Habib ‘Umar sewaktu kecil yang sentiasa berada di sisi ayahnya di dalam halaqah ilmu dan zikir.

Satu ketika berlaku peristiwa tragis saat al-Habib ‘Umar sedang menemani ayahnya untuk menunaikan solat Jum‘at, ayahnya diculik oleh golongan komunis, dan beliau yang masih kecil ketika itu pulang bersendirian ke rumahnya dengan masih membawa syal (kain berupa selendang) milik ayahnya, dan sejak saat itu ayahnya tidak lagi kelihatan. Ini menyebabkan beliau menganggap bahwa tanggung jawab untuk meneruskan pekerjaan yang dilakukan ayahnya iaitu dalam bidang da‘wah disampaikan melalui syal ayahnya, ibarat sebuah bendera perjuangan yang diberikan kepadanya sebelum ayahnya mati syahid. Sejak itu, dengan bendera tersebut yang dikibarkannya tinggi-tinggi, ia memulakan secara bersemangat perjalanan penuh perjuangan, mengumpulkan orang-orang, membentuk majlis-majlis ilmu dan berda’wah. Perjuangan dan usahanya yang gigih demi meneruskan perjuangan ayahnya mula membuahkan hasil. Kelas-kelas mulai dibuka bagi golongan muda mahupun orang-orang tua di masjid-masjid setempat di mana ditawarkan pelbagai peluang untuk menghafal Al Qur’an dan untuk belajar ilmu-ilmu agama.




Sesungguhnya al-Habib ‘Umar ialah seorang ulama' yang benar-benar memahami kitab suci al-Quran sehingga ia telah diberikan sesuatu kurnia yang khusus daripada Allah, meskipun ketika usianya yang masih muda. Namun hal ini mula menyebabkan timbulnya kekhuatiran akan keselamatannya dan akhirnya diputuskan supaya beliau dihantar ke kota al-Bayda’ yang terletak di tempat yang disebut Yaman Utara. Ini menjadikannya jauh dari jangkauan mereka yang berniat jahat ingin mencelakakan beliau.

Di sana bermula babak baru yang penting dalam perkembangan ilmu beliau. Dengan memasuki sekolah Ribat di al-Bayda’ beliau mula belajar ilmu-ilmu tradisional dibawah bimbingan mereka yang ahli iaitu al-Habib Muhammad bin ‘Abd-Allah al-Haddar, semoga Allah mengampuninya, dan juga dibawah bimbingan seorang 'alim mazhab Shafi‘i al-Habib Zain bin Sumait, semoga Allah melindunginya. Janji beliau terpenuhi ketika akhirnya beliau diangkat sebagai seorang guru tak lama kemudian. Beliau terus melanjutkan perjuangannya yang tak mengenal erti lelah dalam bidang da‘wah.




Kali ini tempatnya adalah al-Bayda’ dan kota-kota serta desa-desa disekitarnya. Tiada satu pun yang tertinggal dalam usahanya untuk memperkenalkan kembali cinta kasih Allah dan Rasul-Nya s.a.w dalam hati manusia seluruhnya. Kelas-kelas dan majlis didirikan, pengajaran dimulakan dan masyarakat dibimbing. Usaha beliau yang demikian gigih menyebabkan dirinya sentiasa kekurangan tidur dan istirehat. Namun usaha beliau mula menunjukkan hasil yang besar apabila manusia tersentuh dengan ajaran yang disampaikan beliau, terutamanya para pemuda yang sebelum itu terjerumus dalam kehidupan yang kosong dan sia-sia, namun kini telah mengalami perubahan mendalam hingga mereka akhirnya sedar bahawa hidup ini memiliki tujuan, mereka bangga dengan indentiti baru mereka sebagai Muslim, mengenakan serban dan selendang (rida') sebagai cara pakaian umat Islam dan mula menumpukan perhatian mereka demi meraih sifat-sifat luhur dan pekerti mulia seperti yang ditunjukkan oleh Rasulullah SAW.


Sejak saat itu, sekelompok besar masyarakat yang telah terkesan dengan da'wah beliau mula berkumpul mengelilingi beliau dan membantunya dalam perjuangan da‘wah di bermacam-macam kota, baik besar maupun kecil di Yaman Utara. Pada masa ini, beliau mula mengunjungi banyak tempat mahupun masyarakat di seluruh Yaman, mulai dari kota Ta'iz di utara, untuk belajar ilmu daripada mufti Ta‘iz al-Habib Ibrahim bin Aqil bin Yahya yang mula menaruh perhatian dan kasih-sayang yang besar terhadap beliau sebagaimana yang didapatkan daripada Shaikh al-Habib Muhammad al-Haddar sehingga guru beliau itu menawarkan puterinya untuk dinikahi setelah menyaksikan bahwa dalam diri beliau terdapat sifat-sifat kejujuran dan kepintaran yang luar biasa.

Tak lama kemudian, beliau melakukan pengembaraan yang melelahkan untuk menunaikan ibadah Haji di Makkah dan menziarahi makam Rasulullah SAW di Kota Madinah. Dalam perjalanannya ke tanah Hijaz, beliau dikurniakan kesempatan untuk mempelajari beberapa kitab daripada para ulama yang terkenal di sana, terutama daripada al-Habib 'Abdul Qadir bin Ahmad al-Saqqaf yang telah menyaksikan bahawa di dalam diri al-Habib ‘Umar, terdapat semangat pemuda yang penuh kecintaan terhadap Allah dan Rasul-Nya SAW dan seorang yang bersungguh-sungguh dalam menyebarkan ilmu dan keadilan kepada umat manusia, sehingga beliau benar-benar dicintai al-Habib Abdul Qadir selaku salah-seorang gurunya yang utama. Beliau turut dikurniakan kesempatan untuk menimba ilmu dan mendapatkan bimbingan daripada kedua-dua simbol keadilan di Hijaz, yakni al-Habib Ahmed Mashur al-Haddad dan al-Habib 'Attas al-Habashi.




Sejak itulah nama al-Habib Umar bin Hafiz mula tersebar luas disebabkan kegigihan usaha beliau dalam menyeru manusia kepada agama Islam dan memperbaharui ajaran-ajaran awal yang tradisional. Namun kepopularan dan kemasyhuran yang besar ini tidak sedikit pun mengurangkan usaha pengajaran beliau, bahkan sebaliknya. Tiada waktu yang terbuang sia-sia, setiap saat dipenuhi dengan mengingati Allah dalam pelbagai manifestasi dan cara, dalam pelbagai situasi dan lokasi yang berbeza. Perhatiannya yang mendalam dalam usaha menyuburkan keimanan terutamanya terhadap mereka yang berada di sampingnya, telah menjadi salah satu dari perilaku beliau yang paling dilihat jelas sehingga membuat nama beliau tersebar luas bahkan hingga sampai ke seantero dunia masa kini.




Berdakwah, mengajar dan belajar telah sebati dalam jiwa beliau. Pada tahun 1414H bersamaan 1994M apabila kembali ke tanah tumpah darahnya, beliau telah mengasaskan sebuah pusat pendidikan Islam yang diberi nama “Dar al-Musthafa” di Bandar Tarim Hadramaut. Ini berikutan daripada pelajar-pelajar yang datang dari beberapa Negara Islam untuk menerima didikan daripada beliau. Diperingkat awal penubuhan Dar al-Mustafa diasaskan atas beberapa matlamat seperti berikut:-

1. Menimba ilmu syariat dan ilmu-ilmu yang berkaitan dengannya secara talaqi daripada guru-guru yang berkeahlian dalam bidang tersebut berserta sanad mereka
2. Membersihkan jiwa serta mendidik akhlak
3. Mengarusperdanakan ilmu-ilmu yang bermanafaat serta dakwah kepada Allah.

Akhirnya Dar al-Musthafa mampu membangunkan tapak pengajian sendiri yang dinobatkan secara rasmi sebagai sebuah pusat pengajian dan pendidikan Islam pada 29 Zu al-Hijjah bersamaan 6 Mei 1997. Kini Dar al-Mustafa begitu mendapat perhatian daripada pelajar-pelajar seluruh dunia Islam, ditambah pula graduan-graduannya telah diiktiraf oleh al-Azhar al-Sahrif dan kebanyakan universiti terkemuka dunia Islam.




Al-Allamah al-Habib Umar al-Hafiz telah banyak menbuat lawatan dakwah Islami dan menyampaikan ilmu syarak ke negara-negara Islam lain seperti Syria. Mesir, Sudan, Pakistan, Indonesia, Brunei Darussalam dan Negara kita Malaysia saban tahun

Karya


Di samping seorang pendakwah, Habib Umar juga seorang penulis yang produktif. Karya-karyanya tidak terhad kepada ilmu Fiqh sahaja, bahkan beliau juga mengarang beberapa kitab Tasawuf dan Maulid. Kitab yang ditulis antara lain:

• Dhiya'ul Lami' (Maulid Nabi Muhammad SAW)
• Dhakhira Musyarofah (Fiqh)
• Muhtar Ahadits (Hadits)
• Nurul Iman (Aqidah)
• Durul Asas (Nahu)
• Khulasah Madad an-Nabawi (Zikir)
• Tsaqafatul Khatib (Panduan Khutbah)

KISAH KEMULIAAN AKHLAK AL-HABIB UMAR BIN HAFIDZ

Al-habib Umar bin Hafidz Makan Makanan Sisa Santri-Santrinya


Suatu ketika saat al-Habib Mundzir sedang mondok di Rubath Darul Musthafa Yaman, saat itu di Yaman dalam kondisi perang, sehingga segala hal serba sulit.
Di saat stok makanan sudah menipis, karena saat itu pengiriman makanan dari luar Yaman diblokir oleh pihak penjajah, makanan hanya cukup untuk keluarga al-Habib Umar bin Hafidz.
Namun apa yang terjadi, ketika al-Habib Mundzir selesai makan beliau memergoki anak al-Habib Umar bin Hafidz sedang mengambil sisa-sisa makanan al-Habib Mundzir dan santri-santri yang lain.
Lantas al-Habib Mundzir mempertanyakan kepada anak tersebut sedang apa. Dengan polosnya anak al-Habib Umar bin Hafidz menjawab: “Saya mengambil sisa-sisa makanan yang tersisa buat Abah (al-Habib Umar bin Hafidz) yang belum makan.”
Demikianlah akhlak Guru Mulia al-Habib Umar bin Hafidz yang begitu mulia.  Walau al-Habib Umar bin Hafidz dan keluarganya tidak makan asalkan santri-santrinya tidak kelaparan.
Adakah dari kita yang sanggup mencontoh akhlak beliau al-Habib Umar bin Hafidz yang rela mementingkan orang lain daripada dirinya sendiri meskipun dalam kondisi yang sangat sulit.
Allahumma sholli wasallim ‘alaa sayyidinaa Muhammadin sholaatan taj’alunaa bihaa min ahlil ‘ilmi dzoohiron wabaathinan. Watahsyurunaa bi’ibaadikashshoolihiina fii dunyaanaa wa ukhroonaa. Aamiin yaa Mujiibassaailiin.

Gus Dur dan Karamah Kewalian






Abdurahman Wahid (Gus Dur), sang guru bangsa, dan bapak pluralisme, memang telah berpulang ke haribaan Ilahi, di penghujung tahun 2009 lalu. Saat ini, ramai digelar peringatan 40 hari meninggalnya Gus Dur. Dan entah mengapa, sosok Gus Dur seolah masih hidup di dalam setiap sanubari masyarakat Indonesia. Ia hidup lewat pemikiran-pemikirannya yang diwariskan kepada generasi penerusnya.
Tidaklah heran, jika fefleksi ide-idenya tentang demokrasi, agama, budaya, dan lain-lain, terus bergema disuarakan oleh mereka yang peduli terhadap nasib bangsa ini. Di luar itu, banyak juga orang bertanya-tanya, mengapa antusiasme masyarakat begitu besar, walau hanya sekadar ikut serta mendoakan sang Gus?
Tak terbayangkan, sejak Gus Dur dikebumikan di Jombang 31 Desember 2009, dan hingga hari ini, masyarakat masih bejibun dan memadati pelataran makamnya. Mereka yang berziarah layaknya berkunjung ke tanah suci Mekkah; batu nisan Gus Dur pun dicium bak Hajar Aswad yang terselip di Ka’bah. Atas fenomena ini, ada sebagian kalangan berkomentar sinis terhadapnya, bahwa mereka (baca: pengikut Gus Dur) telah mempraktikkan syirk (menyekutukan Tuhan), dan dianggap bid’ah. Benarkah demikian?
Persepsi yang demikian itu saya kira sangat naif dan terlalu gegabah dalam menjustifikasi suatu perkara, apalagi menyangkut urusan agama. Mereka yang sinis terhadap perilaku peziarah, sesungguhnya bertindak sebagai subjek atau outsider, tapi tidak berusaha memahami dari kacamata objek atau insider. Posisi objek seringkali dalam keadaan tertindas dan dicerca habis-habisan oleh mereka yang bertindak sebagai subjek.
Dalam asumsi subjek, objek seolah harus “ditundukkan”. Begitupula dalam konteks peziarah makam Gus Dur, yang menurut kaum agamawan tertentu dianggap menyimpang dari ajaran agama yang “asli”, dan karenanya wajib diluruskan. Padahal kalau kita mau berempati, perilaku pezirah Gus Dur seperti yang disebutkan di atas, sebenarnya merupakan bagian dari penghormatan yang disertai rasa kagum—yang dalam bahasa agama disebut karamah—terhadap diri sang Gus.






Kewalian Gus Dur
Banyak orang percaya, kalau Gus Dur sesungguhnya bukan manusia biasa. Ia adalah wali Allah (waliyullah)—sebagaimana juga melekat dalam diri kakek dan ayahnya: hadratus syaikh Hasyim Asy’ari dan Wahid Hasyim. Dan karenanya, sangat wajar bila penghormatan sebagian masyarakat yang menziarahi makamnya terlihat berbeda dengan orang kebanyakan.
Bahkan dalam batas-batas tertentu, seorang kawan berkomentar menarik soal ketokohan Gus Dur. Bahwa menurutnya, “andai saat ini zaman sunan, Gus Dur layak menyandang wali ke-10 setelah Sunan Kalijaga, atau wali ke-11 setelah Syekh Siti Jenar”. Komentar ini rasanya tidak berlebihan jika kita menyimak ragam sikap dan statemen-statemen Gus Dur yang memicu kontroversi. Sebuah perilaku yang sangat mirip dengan para wali di masa-masa “pengenalan”—saya lebih suka menyebutnya demikian dari pada “penyebaran”—Islam di bumi nusantara.
Sesuai dengan maknanya, kata wali berarti dekat, kekasih, atau yang mendapat bimbingan atau pemeliharaan. Kata waliyyun, artinya orang shaleh yang ketaatannya terus-menerus kepada Allah, tanpa diseling-selingi oleh perbuatan maksiat. Yusuf bin Ismail al-Nabhani dalam kitabnya, Jami’ Karamat al-Auliya’, mengatakan, apabila seseorang dekat kepada Allah disebabkan ketaatan dan keikhlasannya, dan Allah pun dekat kepadanya dengan melimpahkan rahmat, kebajikan, dan karunianya, maka pada saat itu terjadilah kewalian.
Jadi segala perbuatan dan ucapan pada diri seorang wali merupakan tindakan yang diridhai oleh-Nya. Unsur Ilahi dan manusiawi melebur jadi satu menjadi satu kesatuan. Jika yang demikian telah terjadi, resiko dan konsekuensinya memang sangat besar. Penentangan dan kecaman kepada si wali acapkali terjadi. Hal ini saya kira juga berlaku pada diri Gus Dur.
Semasa hidup, Gus Dur seringkalai banyak disalahpahami oleh kebanyakan orang. Apa yang ia utarakan dianggap mengada-ada. Tetapi setelah melewati rentang waktu, orang baru sadar dan membenarkan pernyatan-pernyataanya, kalau DPR, misalnya—seperti yang pernah disinggung Gus Dur—layaknya “taman kanak-kanak”.
Dalam salah satu hadis qudsi yang sangat populer disebutkan, Rasulullah Saw. bersabda, Allah Ta’ala berfirman: “Barangsiapa yang memusuhi wali-Ku, berarti ia menantang-Ku untuk berperang. Dan tidaklah seorang hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku yang lebih Aku cintai seperti melaksanakan apa yang Aku wajibkan padanya. Dan hamba-Ku senantiasa mendekatkan pada-Ku dengan ibadah-ibadah sunnah sehingga Aku mencinta-Nya. Maka bila Aku mencintainya, Aku menjadi pendengarannya di mana ia mendengar; menjadi matanya di mana ia melihat; menjadi tangannya di mana ia menyentuh; dan menjadi kakinya di mana ia berjalan”.
Al-Quthub Abu al-Abbas al-Mursi, menegaskan dalam kitab yang ditulis oleh muridnya, Lathaif al-Minan, karya Ibn Athaillah al-Sakandari, bahwa waliyullah itu diliputi oleh ilmu dan makrifat-makrifat, sedangkan wilayah hakikat senantiasa disaksikan oleh mata hatinya, sehingga ketika ia memberikan nasihat seakan-akan apa yang dikatakan seperti identik dengan izin Allah. Dan harus dipahami, bagi siapa yang diizinkan Allah untuk meraih ibarat yang diucapkan, pasti akan memberikan kepada semua makhluk, sementara isyarat-isyaratnya menjadi hiasan indah bagi jiwa-jiwa makhluk.
Itu sebabnya, Allah menegaskan dalam Q.S Yunus: 62-63, “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran pada mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa”. Sampai di sini, memang tidak ada yang tahu secara pasti apakah Gus Dur benar-benar seorang wali atau bukan. Tetapi jika dilihat dari respons, antusiasme, dan pengaruhnya yang sangat besar pada sendi-sendi kehidupan masyarakat dan bernegara, yang tidak hanya berpengaruh di kalangan muslim, tapi juga di semua agama dan golongan serta ideology, Gus Dur mungkin mendekati predikat wali itu.
Yang pasti, kepergian Gus Dur membuat duka bagi semua orang seantero negeri ini. Jadi mereka yang saat ini masih larut dalam kesedihan, dapat ditafsirkan betapa masyarakat Indonesia dan dunia mempunyai kesan positif terhadap Gus Dur, baik semasa hidup maupun hingga ajal menjemputnya.
Hal itu semakin menguatkan pendapat Syekh Muhammad Husain al-‘Adawi dalam kitabnya, al-Mathalib al-Qudsiyah fi Ahkam al-Ruh wa Atsariha al-Kauniyah, yang menjelaskan bahwa limpahan karunia Allah kepada wali-wali berupa karamah, baik pada masa hidup maupun sesudah matinya, adalah suatu hal pasti di kalangan tokoh yang memahami ajaran-ajaran makrifat, bahkan juga di kalangan lain, karena tidak ada alasan menolaknya, baik berdasarkan logika maupun berdasarkan ayat al-Qur’an ataupun hadis Nabi Saw.